Dosen Universitas Tarumanagara dan Ketua Umum IKA FH Universitas Diponegoro
Ahmad Redi
Memilih Bekerja sesuai Passion

Ahmad Redi, pria kelahiran Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan tahun 1985 ini telah menggeluti bidang hukum sejak pertama kali berkuliah di Fakultas Hukum Undip tahun 2003. Kecintaannya pada bidang hukum rupanya menurun dari sang ayah yang juga berprofesi tak jauh dari masalah sosial kemasyarakatan. Keinginannya untuk dapat melanjutkan studi di jurusan Hukum sewaktu berkuliah, telah ia pupuk sejak berada di bangku SMA.

Sewaktu remaja, Redi bersekolah di SMA Bina Insani, Bogor, Jawa Barat, jauh dari keluarga yang saat itu berada di Sumatera Selatan. Itu adalah kali pertama baginya merasakan merantau di Pulau Jawa. Meski begitu, jauh dari keluarga tidak menjadi batu hambatan bagi Redi untuk mengejar mimpi. Terbukti, ia berhasil menjadi murid berprestasi di sekolah dan lolos seleksi kuliah tanpa tes. “Jadi karena saya dari dulu juara kelas terus, saya punya hak untuk mengajukan dulu namanya PBSB (Penerimaan Seleksi Siswa Berpotensi, red),” tutur dosen Universitas Tarumanagara ini.

Pilihannya untuk mendaftar Fakultas Hukum Undip makin mantap ketika Redi melihat salah satu foto guru besar Undip yang selama ini menginspirasinya. “Saya banyak membaca di FH Undip ada banyak tokoh-tokoh besar, salah satunya Prof. Muladi, dulu beliau yang paling terkenal. Saya lihat foto beliau membawa bendera Undip yang membuat saya sangat tertarik betul,” ujar Redi yang juga seorang penulis buku ini.

Semasa kuliah, Redi termasuk mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan, baik organisasi mahasiswa maupun berbagai ajang perlombaan. Redi bersama dengan teman satu timnya pada saat itu telah banyak menorehkan prestasi dan membawa piala bagi Undip. Salah satu yang membanggakan adalah kemenangannya meraih Piala Ketua Mahkamah Agung dalam lomba kompetisi peradilan semu Asian Law Students Association (ALSA). Ia juga merupakan mahasiswa berprestasi (mahasiswa teladan) FH Undip tahun 2005. Redi menceritakan jika dirinya pada saat itu lebih banyak menghabiskan waktu di kampus daripada di kos. Redi bahkan sering menginap di kampus yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit karena terkena pneumonia.

Banting Stir Menjadi Dosen

Setelah lulus dari Undip tahun 2007, tak butuh waktu lama bagi Redi untuk mendapatkan pekerjaan. Tak tanggung-tanggung, Redi bekerja sebagai pegawai negeri yang mengurusi masalah peundang-undangan di Kementerian Sekretariat Negara. Tugasnya pada saat itu adalah menyiapkan dan memfinalisasi produk peraturan perundang-undangan sebelum ditandatangani oleh presiden. Bisa dikatakan, kariernya cukup gemilang. Terbukti di tahun 2012, Redi sudah menjabat sebagai Kepala Subbidang Sumber Daya Alam, Deputi Bidang Perundang-undangan. Ia juga rajin memperoleh penghargaan peserta terbaik di berbagai pendidikan dan pelatihan yang diadakan Kementerian Sekretariat Negara.

Tidak hanya sukses dengan profesinya, Redi juga sukses di bidang akademik. Sembari bekerja, Redi menyempatkan waktu untuk belajar banyak mengenai hukum. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Redi telah menamatkan gelar doktornya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sayangnya, peraturan birokrasi yang ketat membuatnya memilih untuk mengundurkan diri dari dunia birokrasi di kementerian ring satu itu. Redi menuturkan jika bekerja di birokrasi membuatnya tidak mencintai diri sendiri. “Karena dulu saya aktivis, manusia independen, bekerja di birokrasi tidak sesuai dengan karakter dan watak saya yang harus terikat dengan sistem kerja yang rigid dan hierarkis,” ungkap pakar hukum tata negara ini.

Sementara itu, Redi justru merasa bahwa passion-nya ada di dunia pendidikan. Kecintaannya untuk belajar dan mengajar, berbicara di berbagai forum, dan meneliti bisa lebih dikembangkan bila ia berada di luar pemerintahan. Panggilan jiwanya untuk mengabdi di bidang pendidikan pada saat itu sangat menggebu-gebu. Di tahun 2015, Redi akhirnya memilih bekerja sebagai dosen. “Saya merasa passion saya bukan di birokrasi tetapi di pendidikan. Saya suka mengajar, menulis, meneliti, dan berbicara di berbagai forum seminar, saya akan sulit ketika berada di birokrasi ya karena tidak bisa begitu bersikap kritis terhadap kebijakan negara. Ada etika PNS,” jelasnya.

Di karier kedosenan, baru tiga tahun menjabat sebagai dosen, Redi telah diamanahi sebagai kepala program studi S-1 FH Untar. Selain itu, di tahun yang sama yakni 2018, Redi juga mendapat apresiasi dari Kemenristekdikti sebagai salah satu dosen berprestasi di tingkat provinsi atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) dan masuk dalam grandfinalist di tingkat nasional. Walau terhitung baru menjadi dosen, namun Redi telah memiliki jenjang fungsional associate professor (lektor kepala). Satu Langkah lagi menjadi professor muda.

Selain sebagai dosen dan peneliti, Redi telah membangun kantor pengacara, Staf Khusus Ketua Komisi Yudisial RI, aktif sebagai tenaga ahli, konsultan berbagai lembaga di dalam dan luar negeri, ketua umum IKA FH Undip, dan penulis buku. Beberapa karyanya antara lain berjudul: Hukum Pertambangan, Hukum Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Omnibus Law: Pendiskursusan Dalam Sistem Hukum Nasonal, dan Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan.